Tokoh Wali Songo yang bergelar Prabu Satmata ini makamnya terletak di sebuah bukit di Dusun Kedhaton, Desa Giri Gajah, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik. Kompleks makam ini berupa dataran bertingkat tiga dengan bagian belakang paling tinggi. Pintu gerbang masuk ke area pemakaman pada tingkat pertama ini ditandai gapura berbentuk candi bentar dengan undak-undakan berperipih hiasan naga di kanan dan kirinya yang merupakan candra sengkala Naga Loro Warnaning Padha yang menunjuk angka tahun 1428 Saka (1506 Masehi), yaitu tahun dibangunnya pintu gerbang tersebut. Untuk masuk ke area tingkat kedua terdapat pintu gerbang candi bentar kedua yang sama dengan pintu gerbang pertama. Pada area tingkat tiga terdapat pintu gerbang berbentuk paduraksa. Di area ketiga ini terletak sebuah tungkub (bangunan kuburan) yang berisi makam Sunan Giri beserta isteri.
Asal-usul dan Nasab
Sunan Giri adalah raja sekaligus guru suci (pandhita ratu) yang memiliki peran penting dalam pengembangan dakwah Islam di Nusantara. Sejarah dakwah Islam di Nusantara mencatat jejak-jejak dakwah Sunan Giri dan keturunannya tidak saja mencapai Banjar di Kalimantan Selatan, Kutai di Kalimantan Timur, dan Gowa di Sulawesi Selatan, tapi juga mencapai Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku.
Menurut M.A.P. Meilink-Roelofsz dalam Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630 (1962), sejak paruh kedua abad ke-14 Gresik sudah dihuni orang-orang Cina yang menamai daerah itu dengan sebutan Ce-cun, yang secara harfiah bermakna ‘desa kakus-kakus’. Menurut G.P. Rouffaer (1906) nama aneh itu digunakan oleh orang Cina yang mengacaukan bentuk halus bahasa Jawa (kromo) untuk Gresik, yaitu Tandhes (salah satu artinya, ‘muara sungai’) dengan kata Melayu Tandas yang artinya memang ‘kakus’, lalu menerjemahkannya menjadi Ce-cun.
Menurut Serat Walisana, asal-usul Sunan Giri dilukiskan dalam tembang macapat langgam Pucung pupuh V bait 20-25 sebagai berikut.
“Nateng Blambangan/ Prabu Sadmuddha wewamgi/ rimangkana kataman sungkawa dahat// Marma tyas duh margi saking putrinipun/ nandang gerah barah/ madal sanggyaning usadi/ apanengeran Sang Retno Sabodi Rara// Suwarna yu samana Sang nata ngrungu/ lamun ing muhara/ wonten janma nembe prapti/ adedukuh mencil ahlul tapabrata// pan wus kabul mumpuni salwiring kawruh/ dadya tinimbalan/ prapta kinen ngusadani/ katarima waluya grahe Sang Retna// suka sukur ya ta wau sangha prabu/ nenggih putranira/ pinaringaken tumuli/ lajeng panggih lan sayid yakub samana// atut runtut tan ana sangsayanipun/ pinaringan nama maruwanira Ji/ apanengran Pangeran Raden Wali Lanang//”
“Sira Pangeran Wali Lanang// amikesdu miluta marsepahipun/ anunggila Islam/ sampun amangeran kapir/ temah bunek panganaming kasampurna// tanpa dunung sanget denira mrih anut/ enenging kahanan/ nebet tabek para nabi/ kang wus kabul mungguh mungging bale baka// sangha prabu tan dadya renaning kayun/ rineh ing agama/ cipta lamun den wanceni/ sanalika nir sihe mring mantu nira// gya tinundung saking sabet-saponipun/ prajeng Blambangan/ Seh Wali lanang sah anis/ tanpa rowang anggana kawelasarsa//.”
Berbeda dengan sumber Babad Tanah Jawi yang menyebut nama ayah Sunan Giri dengan nama Maulana Ishak, Serat Walisana menyebut Sayid Yakub yang diberi gelar Pangeran Raden Wali Lanang. Nama ibu Sunan Giri yang menurut Babad Tanah Jawi adalah Dewi Sekardadu, dalam Serat Walisana namanya Retno Sabodi. Begitu juga nama kakek Sunan Giri dari pihak ibu di Babad Tanah Jawi disebut Prabu Menak Sembuyu, di Serat Walisana disebut Prabu Sadmuddha. Meski terdapat perbedaan nama tokoh, baik Babad Tanah Jawi maupun Walisana memiliki alur cerita yang sama bahwa dari pihak ibu, Sunan Giri keturunan Raja Blambangan. Bahkan, nama Giri yang digunakan untuk kediamannya yang terletak di wilayah Gresik, memiliki hubungan dengan nama ibukota Blambangan saat itu: Giri (sekarang nama kecamatan Giri di kota Banyuwangi).
Sumber Babad Tanah Jawi dan Walisana menunjuk bahwa usaha dakwah yang dilakukan Maulana Ishak yang dikirim Sunan Ampel ke Blambangan mengalami kegagalan. Sebab, Maulana Ishak alias Syaikh Wali Lanang diusir oleh mertuanya yang marah ketika diminta memeluk Islam dan meninggalkan agamanya yang lama. Maulana Ishak pergi meninggalkan istrinya yang hamil tua. Merana ditinggal suami, Retno Sabodi meninggal setelah melahirkan seorang anak laki-laki. Dikisahkan, saat itu terjadi wabah besar melanda Blambangan. Raja Blambangan menduga, wabah itu berhubungan dengan kelahiran bayi laki-laki putra Maulana Ishak. Akhirnya, bayi laki-laki itu diletakkan di dalam peti dan dihanyutkan ke tengah laut dan kemudian peti itu tersangkut di kapal milik Nyai Pinatih yang sedang berlayar ke Bali.
Pendidikan dan Pengembangan Keilmuan
Menurut Hoesein Djajadiningrat dalam Sadjarah Banten (1983), Nyai Pinatih adalah seorang janda kaya raya di Gresik, bersuami Koja Mahdum Syahbandar, seorang asing di Majapahit. Nama Pinatih sendiri sejatinya berkaitan dengan nama keluarga dari Ksatria Manggis di Bali (Eiseman, 1988), yang merupakan keturunan penguasa Lumajang, Menak Koncar, salah seorang keluarga Maharaja Majapahit yang awal sekali memeluk Islam.
Bayi yang tersangkut di kapal itu diambil oleh awak kapal dan diserahkan kepada Nyai Pinatih yang kemudian memungutnya menjadi anak angkat. Karena ditemukan di laut, maka bayi itu dinamai Jaka Samudra. Setelah cukup umur, Jaka Samudra dikirim ke Ampeldenta untuk berguru kepada Sunan Ampel. Menurut Babad Tanah Jawi, sesuai pesan Maulana Ishak, oleh Sunan Ampel nama Jaka Samudra diganti menjadi Raden Paku.
Selama berguru di Ampeldenta, Raden Paku berkawan akrab dengan Raden Mahdum Ibrahim, putra gurunya, yang kelak menjadi Sunan Bonang. Di dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan bahwa Raden Paku dan Raden Mahdum Ibrahim pernah bermaksud pergi ke Mekah untuk menuntut ilmu sekaligus berhaji. Namun, keduanya hanya sampai di Malaka dan bertemu dengan Maulana Ishak, ayah kandung Raden Paku. Keduanya diberi pelajaran tentang berbagai macam ilmu keislaman, termasuk ilmu tasawuf. Di dalam sumber yang dicatat pada silsilah Bupati Gresik pertama bernama Kyai Tumenggung Pusponegoro, terdapat silsilah Tarekat Syathariyah yang menyebut nama Syaikh Maulana Ishak dan Raden Paku Sunan Giri sebagai guru Tarekat Syathariyah, yang menunjuk bahwa aliran tasawuf yang diajarkan Maulana Ishak dan Raden Paku adalah Tarekat Syathariyah.
Di dalam Babad Tanah Jawi juga disebut bahwa atas saran Maulana Ishak, keinginan Raden Paku dan Raden Mahdum Ibrahim untuk pergi ke Mekah dibatalkan dan kembali ke Jawa yang lebih membutuhkan mereka untuk dakwah Islam. Dalam perjalanan ke Jawa, Raden Paku dibekali segumpal tanah dan dua orang abdi bernama Syaikh Koja (Kujo) dan Syaikh Grigis. Sesampai di Jawa, Raden Paku mencari tempat yang tanahnya sama dengan tanah, yang dibawanya dari Malaka. Ternyata, tempat itu di atas bukit yang disebut Giri. Raden Paku kemudian membangun masjid di perbukitan itu dan kemudian berdakwah menyebarkan Agama Islam dari tempat itu. Itu sebabnya, Raden Paku kemudian dijuluki Sunan Giri, yang mengandung makna susuhunan (guru suci) yang tinggal di Perbukitan Giri.
Sementara itu, menurut Raffles dalam The History of Java (1965), Raden Paku sebagai penguasa Giri pertama, yang kisahnya penuh dengan mitos dan legenda itu menyimpan jejak sejarah bahwa tokoh yang masyhur dengan sebutan Sunan Giri (Raja Gunung) itu adalah keturunan orang asing dari Barat bernama Maulana Ishak dengan seorang putri Raja Blambangan. Dari garis ibu, Sunan Giri adalah keturunan Bhre Wirabhumi (putra Hayam Wuruk dari selir yang dirajakan di Blambangan—pen).
Didikan sebagai bangsawan tinggi yang diperolehnya dari ibu angkatnya, Nyi Pinatih dan adiknya yang bernama Pangeran Arya Pinatih yang dikenal dengan nama Syaikh Manganti, tampaknya telah mencetak Raden Paku sebagai bangsawan tinggi yang mewarisi hak-hak previlege sebagai keturunan Bhre Wirabhumi. Pergantian nama dari Jaka Samudra menjadi Raden Paku yang dilakukan oleh Sunan Ampel, menunjuk pada terjadinya perubahan status dari kedudukan masyarakat kebanyakan menjadi keluarga penguasa Surabaya bergelar raden, yang merupakan bagian dari keluarga Maharaja Majapahit. Itu sebabnya, pada saat kekuasaan Majapahit terpecah-pecah menjadi kadipaten-kadipaten kecil yang saling berperang satu sama lain, Raden Paku mempertahankan kemerdekaan wilayahnya dengan mengangkat diri sebagai penguasa wilayah dengan gelar Sunan Giri.
Keberadaan Sunan Giri sebagai penguasa politis, setidaknya tercermin dari gelar yang dia gunakan: Prabu Satmata, yang bermakna ‘Raja Satmata’ (Satmata adalah salah satu nama Syiwa). Dalam penelitian yang dilakukan Tim Peneliti Balitbangda Kabupaten Gresik pada 2008, ditemukan data toponim bekas Keraton Sunan Giri yang terletak di Menganti, yang berasal dari nama Bangsal Sri Manganti, yaitu kantor raja, yang letaknya berdekatan dengan Kepatihan. Penelitian yang dilakukan Nurhadi (1982) di kompleks Giri, dinilai sebagai penelitian yang meneliti puri (kediaman pribadi raja) yang menjadi tempat tinggal pribadi Sunan Giri beserta keluarga.
Dakwah Sunan Giri
Lembaga Riset Islam Pesantren Luhur Sunan Giri Malang dalam Sejarah dan Dakwah Islamiyah Sunan Giri (1975), menemukan jejak sejarah bahwa salah satu bidang dakwah yang digarap Sunan Giri adalah pendidikan. Dalam usaha dakwah lewat pendidikan, Sunan Giri tidak sekadar mengembangkan sistem pesantren yang diikuti santri-santri dari berbagai daerah mulai Jawa timur, Jawa tengah, Kalimantan, Makassar, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Ternate, Tidore, dan Hitu, melainkan mengembangkan pula sistem pendidikan masyarakat yang terbuka dengan menciptakan berbagai jenis permainan anak-anak seperti Jelungan, Jamuran, Gendi Gerit, dan tembang-tembang permainan anak-anak seperti Padang Bulan, Jor, Gula Ganti, dan Cublak-cublak Suweng. Bahkan, Sunan Giri diketahui mencipta beberapa tembang tengahan dengan metrum Asmaradhana dan Pucung yang sangat digemari masyarakat karena berisi ajaran ruhani yang tinggi.
Salah satu tembang permainan anak-anak ciptaan Sunan Giri adalah Padang Bulan, yang isinya: padang-padang bulan/ ayo gage do dolanan/ dedolanan neng latar/ ngalap padang gilar-gilar/ nundung begog hanga tikar//
Sunan Giri tidak segan mendatangi masyarakat dan menyampaikan ajaran Islam di bawah empat mata. Setelah keadaan memungkinkan, dikumpulkanlah masyarakat sekitarnya dengan keramaian, misalnya, selamatan dan upacara-up-acara, lalu dimasukkanlah ajaran Islam, sehingga suasana lingkungan lambat laun dan dengan cara-cara yang lunak mengikuti ajaran Islam, yang diterima sebagai kewajaran. Menurut R. Pitono dalam Tentang Sistem Pendidikan di Pulau Djawa
Abad XVII-XVIII (1962), pendidikan serupa ini, dalam dunia Islam dikenal dengan nama tabligh.
Sejalan dengan penelitian Lembaga Riset Islam Pesantren Luhur Sunan Giri Malang, Aminud-din Kasdi dalam Kepurbakalaan Sunan Giri: Sosok Akulturasi Ke-budayaan Jawa, Hindu dan Islam pada Abad ke-15-16 (1987), menegaskan bahwa peranan Sunan Giri dalam penyebaran Agama Islam adalah melalui jalan pendidikan, politik, dan kebudayaan, yang tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan kebijaksanaan para wali lainnya. Kedudukan Sunan Giri sebagai kepala wilayah suatu kekuasaan politis, tampak dari gelar Prabu Satma-ta yang disandang Raden Paku. Gelar prabu menunjuk pada kekuasaan politis, sedangkan nama Satmata adalah salah satu nama Dewa Syiwa, yaitu nama yang menandai sebuah kekuasaan bersifat Syiwais: ajaran yang paling banyak dianut masyarakat Majapahit dewasa itu.
Raden Paku, selain dikenal dengan gelar Prabu Satmata, juga masyhur dengan gelar Sunan Giri yang dalam bahasa Jawa Kuno bermakna “Raja Giri” yang semakna dengan gelar Girinatha, yaitu nama Dewa Syiwa. Sebutan sunan pada nama Sunan Giri, berasal dari kata susuhunan: sapaan hormat kepada raja yang memiliki makna “Paduka Yang Mulia” (Zoetmulder,1982) dan sekaligus sebutan hormat untuk guru suci yang memiliki kewenangan melakukan diksha (baiat) bagi murid-murid ruhaninya.
Dalam penelitian Tim Balitbangda Kabupaten Gresik berjudul Kajian Sejarah Kyai Tumenggung Pusponegoro Bupati Gresik (2008) disebutkan bahwa keberadaan kekuasaan politis Sunan Giri, mengikuti pola kekuasaan yang berlaku dewasa itu, yang ditandai oleh dua tempat utama yang berkaitan dengan keberadaan seorang penguasa, yaitu Bangsal dan Puri. Yang dimaksud Bangsal adalah pusat kekuasaan raja, yaitu sebuah kompleks perkantoran tempat raja bekerja menjalankan tugas sebagai kepala negara dan sebagai pemegang otoritas hukum dan keagamaan. Di kompleks Bangsal ini, raja menerima tamu negara, memimpin rapat para menteri, menerima persembahan upeti-upeti dan hadiah-hadiah, menjatuhkan keputusan-keputusan hukum, dan sebagainya.
Bangsal-bangsal tersebut dinamai sesuai fungsi masing-masing, seperti Bangsal Sri Manganti, Bangsal Manguntur, Bangsal Sasana Sewaka, Bangsal Witana, Bangsal Panangkilan, dan Bangsal Pancaniti. Menurut kajian toponimis penelitian Tim Balitbangda tersebut, Desa Menganti yang terletak di Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik, dulunya adalah bangsal utama yang menjadi pusat pemerintahan Sunan Giri. Dan, sebagaimana lazimnya pemerintahan saat itu, di dekat Bangsal Sri Manganti terdapat kantor patih (menteri utama/perdana menteri) yang disebut Kepatihan, yang saat ini tersisa menjadi Desa Kepatihan, yang terletak di sebelah utara Desa Menganti.
Kediaman pribadi raja dan keluarga raja yang disebut Puri, adalah suatu kompleks tempat raja menjalankan fungsi sebagai pemimpin keluarga sekaligus pemimpin adat dan tradisi. Di kompleks puri, selain terdapat kediaman raja dan keluarga, juga terdapat keputrian, tamansari, gedung perbendaharaan raja, punggawa pengawal raja, juga terdapat kedhaton, makam dhatu leluhur raja, dan sebagainya. Nurhadi, dalam penelitian berjudul Tataruang Permukiman Giri: Sebuah Hipotesa Atas Hasil Penelitian di Giri (1982), menggambarkan bagaimana puri kediaman Sunan Giri beserta keluarganya yang terletak di bukit Giri, yang pusatnya terletak di Kedhaton. Pemilihan lokasi Kedhaton Giri ditandai candrasengkala “toya mili pasucining ratu” yang mengandung makna tahun 1402 Saka, yang sama dengan tahun 1479 Masehi, dan pembangunannya ditandai candrasengkala “tingali luhur dadi ratu” yang bermakna tahun 1403 Saka atau 1480 Masehi.
Bertolak dari keberadaan Bangsal Sri Manganti, Puri Kedhaton dan gelar Prabu Satmata atau Sunan Giri, keberadaan tokoh anggota Wali Songo yang bernama pribadi Raden Paku atau Jaka Samudra itu dapat dipastikan, bukan saja seorang ulama penyebar Islam, melainkan juga seorang penguasa politik di wilayahnya. Kedudukan ganda Sunan Giri ini, oleh Sunan Ampel disebut sebagai “noto” dan “pandhito”, atau yang lazim digunakan masyarakat dewasa itu adalah sebutan “Pandhito Ratu”. Dengan kedudukan ganda sebagai ruhaniwan (pandhito) sekaligus raja (ratu), usaha dakwah Islam yang dilakukan Sunan Giri jauh lebih luas dan lebih leluasa dibanding jika Sunan Giri hanya berkedudukan sebagai ruhaniwan. Menurut M. Ali dalam Sedjarah Perjuangan Feodal Indonesia (1963), peran raja-raja dalam membantu usaha dakwah Wali Songo dalam menyiarkan Agama Islam sangat besar, yang salah satu di antara raja-raja tersebut adalah Sunan Giri.
Literature of Java (1967-1980) Th.G.Th. Pigeaud menyebutkan bahwa pada tahun 1485 M, Prabu Satmata membangun kedhaton di puncak bukit. Pada tahun 1488 M, Prabu Satmata membangun kolam, yang mungkin suatu “taman indah” dengan danau tiruan beserta pulau kecil di tengahnya, lengkap dengan balai kecil, yang biasanya disebut bale kambang. Bangunan “taman air” itu sejak dahulu kala merupakan bagian dari kompleks istana raja di Jawa. Memiliki taman semacam itu tentu menambah wibawa dan kekuasaan pemimpin agama pertama di Giri tersebut. Selanjutnya Th.G.Th. Pigeaud dalam Javaansche Volksvertoningen (1938), menambahkan bahwa Prabu Satmata adalah orang pertama di antara ulama yang membangun tempat khalwat dan makam di atas bukit. Tempat keramat di atas gunung merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan keagamaan sejak sebelum zaman Islam di Jawa timur.
H.J. De Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1985), menyimpulkan bahwa Prabu Satmata dari Giri dan ibu angkatnya yang sudah beragama Islam, Nyai Gede Pinatih dari Gresik, berperan besar dalam pembentukan masyarakat beragama Islam di Gresik sebagaimana di Surabaya dilakukan oleh Sunan Ampel. Tindakan Prabu Satmata dari Giri itu dapat dianggap sebagai suatu usaha memantapkan dan menguatkan pusat keagamaan dan kemasyarakatan ini, bagi kepentingan para pedagang Islam yang sering kurang semangat agamanya. Biasanya mereka adalah keturunan asing dan berasal dari golongan menengah yang berada atau kurang berada, dan mungkin sejak abad ke-14 sudah bertempat tinggal di kota-kota atau kota-kota kecil di Jawa.
Dari kedhatonnya yang terletak di bukit Giri, Sunan Giri mengembangkan dakwah Islam melalui pendidikan masyarakat dengan memanfaatkan seni per-tunjukan yang sangat menarik minat masyarakat. Sunan Giri tidak saja dikenal sebagai pencipta tembang-tembang dola-nan anak-anak, tembang tengahan dengan metrum Asmaradhana dan Pucung yang sangat digemari masyarakat, melainkan telah pula melakukan perubahan reforma-tif atas seni pertunjukan wayang. R.M. Sa-jid dalam Bau Warna Wajang menyatakan bahwa Sunan Giri memiliki peranan besar dalam melengkapi hiasan-hiasan wayang seperti kelat bahu (gelang hias di pangkal lengan), gelang, keroncong (gelang kaki), anting telinga, badong (hiasan pada pung-gung), zamang (hiasan kepala) dan lain-lain.
Selain itu, Sunan Giri juga mengarang lakon-lakon wayang lengkap dengan suluknya. Bahkan, tambahan tokoh-tokoh wayang dari golongan wanara (kera) juga dilakukan Sunan Giri sehingga selain tokoh wanara Hanoman, Sugriwa, Subali, Anila, Anggada, dan Anjani, dibikin wayang-wayang wanara baru seperti Kapi Menda, Kapi Sraba, Kapi Anala, Kapi Jembawan, Kapi Winata, Urahasura, dan lain-lain.
Kebesaran Prabu Satmata Sunan Giri sebagai seorang penguasa yang berhasil membawa kemakmuran bagi masyarakat muslim di Gresik terlihat pada masa kekuasaan Pangeran Zainal Abidin Sunan Dalem, putra Sunan Giri yang dikenal dengan gelar Sunan Giri II. Tome Pires, musafir Portugis yang datang ke Jawa tahun 1513-1514 dalam Suma Oriental (1944) menggambarkan kekuasaan Pangeran Zainal Abidin di daerah agraris di pedalaman. Pangeran Zainal Abidin diketahui Tome Pires sebagai penguasa Islam tertua di kota-kota pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang bersahabat baik dengan Pate Rodim Tua (Raden Patah) dan Pate Rodim Muda (Sultan Trenggana), penguasa Demak. Oleh karena jasa-jasanya yang sangat besar dalam pengembangan Islam.
Puncak kejayaan Giri ditandai dengan naiknya cucu Sunan Giri bernama Pangeran Pratikha yang masyhur disebut Sunan Giri Prapen. Sebab, saat itu tidak sekadar memperbaiki dan memperbesar kedhaton dan masjid Giri serta makam Prabu Satmata, dakwah Islam pun dikembangkan sampai ke Kutai, Gowa, Sumbawa, Bima, bahkan ke Maluku. Meski tindakan-tindakan besar dalam dakwah dilakukan Sunan Giri Prapen, keagungan, kehormatan, kemuliaan, dan kewibawaan rohani tetap diberikan kepada Sunan Giri Prabu Satmata yang sampai saat ini makamnya dijadikan tempat peziarahan oleh umat Islam.
Sumber Atlas Wali Songo - Prof Agus Sunyoto.